HIBRIDITAS DALAM PERTUNJUKAN KETOPRAK DOR GRUP RAHAYU CIPTO RUKUN DI KOTA TEKENGON
Abstract
This study aims to explain the forms of cultural hybridity in the Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun performance in Takengon. Historically, Ketoprak Dor is an art brought by the Javanese overseas community who became plantation workers during the colonial period, in Deli, North Sumatra. This art is another form of Javanese ketoprak art that developed in Surakarta and Yogyakarta. The art form and performance of Ketoprak Dor in Takengon has undergone flexing and adjustment so that there are many new local cultural elements blending into the performance packaging, such as language, dialect, story themes, to the music. This research uses descriptive qualitative research methods using several data collection techniques, including: literature studies, online data searches, direct observation, interviews with sources from various backgrounds, documentation of object events contextually, up to the selection stage to field data analysis. This research problem is solved by using a cultural hybridity approach which is one of the postcolonial theories. According to Homi K. Babha, hybridity is when the boundaries of a system or culture become unclear so that the culture experiences a flexion of meaning which in turn experiences an assimilation of cultural space. Babha's view becomes an analytical point of view in observing and reviewing the issue of cultural hybridity in the Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun performance in Paya Tumpi Village, Takengon. The results of this study found that the hybrid culture in the Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun performance, there are three aspects: first, the theme of the story; secondly, music and musical instruments; third, language and dialect. This third aspect is also reinforced by the background of the Ketoprak Dor players consisting of Javanese, Gayo and Acehnese ethnicitie.
Keywords: ketoprak Dor, hybridity, Java, Takengon.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk-bentuk hibriditas budaya dalam pertunjukan Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun di Takengon. Secara historis, Ketoprak Dor adalah kesenian yang dibawa oleh masyarakat perantauan Jawa yang menjadi pekerja perkebunan pada masa penjajahan, di Deli Sumatera Utara. Kesenian ini merupakan bentuk lain dari seni ketoprak Jawa yang berkembang di Surakarta dan Yogyakarta. Bentuk kesenian dan pertunjukan Ketoprak Dor di Takengon telah mengalami pelenturan dan penyesuaian sehingga banyak terdapat unsur-unsur budaya baru yang bersifat lokal membaur ke dalam kemasan pertunjukannya, seperti bahasa, dialek, tema cerita, hingga musiknya. Penelitian ini mengunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, di antara: studi kepustakaan, penelusuran data online, observasi langsung, wawancara dengan narasumber dari berbagai latar belakang, pendokumentasian peristiwa objek secara kontektual, hingga tahap seleksi hingga analisis data lapangan. Permasalah penelitian ini dijabarkan menggunakan pendekatan hibriditas budaya yang menjadi salah satu teori Postkolonial. Menurut Homi K. Babha, hibriditas adalah ketika batasan-batasan sebuah sistem atau budaya menjadi tidak jelas sehingga budaya tersebut mengalami pelenturan makna yang pada akhirnya mengalami suatu pembauran ruang budaya. Pandangan Babha tersebut menjadi sudut pandang analisis dalam mengamati dan mengulas persoalan hibriditas budaya dalam pertunjukan Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun di Desa Paya Tumpi, Takengon. Hasil penelitian ini mendapati bahwa hibriditas budaya dalam pertunjukan Ketoprak Dor Rahayu Cipto Rukun, terdapat tiga aspek: pertama, tema cerita; kedua, musik dan instrumen musik; ketiga, bahasa dan dialek. Ketiga aspek ini juga dikuatkan oleh latar belakang pemain Ketoprak Dor yang terdiri dari etnik Jawa, Gayo, dan Aceh.
Kata Kunci: ketoprak Dor, hibriditas, Jawa, Takengon.
Authors:
Rika Wirandi : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Fifie Febryanti Sukman : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
References:
Gandhi, L. (2001). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Gultom, J. (2017). Ketoprak Dor, Hiburan di Tengah Perbudakan Kuli Kotrak. https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2017/09/09/4954/ketoprak_dor_hiburan_di_tengah_perbudakan_kuli_kontrak/ (diakses tanggal 10 Maret 2023).
Suroso, P. (2018). Tinjauan Bentuk dan Fungsi Musik pada Seni Pertunjukan Ketoprak Dor. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 2(2), 66-78. https://doi.org/10.24114/gondang.v2i2.11283.
Suyadi, S. (2019). Hibriditas Budaya dalam Ketoprak Dor. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 191-202.https://doi.org/10.14203/jmb.v21i2.817.
Wirandi, R., & Sukman, F. F. (2022). Power Perempuan dalam Tradisi Musik Becanang di Bener Meriah. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 11(2), 572-580.https://doi.org/10.24114/gr.v11i2.40085.
Keywords
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.24114/gr.v12i1.48198
Article Metrics
Abstract view : 181 timesPDF - 192 times
Copyright (c) 2023 Rika Wirandi, Fifie Febryanti Sukman
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Gorga : Jurnal Seni Rupa
Email: gorgajurnalsenirupa@unimed.ac.id
Jl. Willem Iskandar, Pasar V, Medan Estate, Medan City, North Sumatra Province, Postal Code 20221. Phone/fax: (061) 661 3365 / +6285278021981.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License